Yayasan Leksika pada bulan Juni 2016 menerbitkan sebuah buku antologi puisi berjudul TANCEP KAYON. Buku ini memuat puisi-puisi dari 15 penyair yang semua karyanya mengambil tema atau latar dunia pewayangan, baik dari sudut pandang penulisan cerita asli di India maupun yang sudah adaptasi di Indonesia (jawa, sunda, bali). Buku ini dieditori oleh penyair Bambang Widiatmoko.
Undangan untuk memakmurkan antologi puisi tema wayang ini cukup tersebar luas, akan tetapi ternyata hanya terkumpul 15 penyair yang ikut bergabung mengirimkan karyanya. Saya tidak tahu secara pasti mengapa sedikit yang ikut dalam buku ini. Apakah cerita wayang atau dunia seni pewayangan sudah banyak ditinggalkan masyarakat dan kini mereka lebih memilih budaya instan yang lebih mudah dan populer?
Kelimabelas penyair yang karyanya tergabung dalam buku Tancep Kayon ini adalah: Acep Syahril, Asro al Murthawy, Budhi Setyawan, Eka Budianta, Esti Ismawati, Fitrah Anugerah, Heru Mugiarso, I Made Suantha, Iman Budhi Santosa, Jack Efendi, Navis Ahmad, Purwadmadi, Roso Titi Sarkoro, Sendang Mulyana, dan Sus S. Hardjono.
Ada empat puisi saya dalam buku tersebut berjudul: Penantian Amba, Karna, Kesetiaan Surtikanti, dan Subali.
Berikut 2 puisi saya berjudul Penantian Amba dan Subali.
Budhi Setyawan
Penantian Amba
bukan hunjam panahmu yang mengeluarkanku
dari relung fana mayapada
namun kekerasan batu di parasmu
yang membuatku terpelanting
ke jurang sepi asing
jatuh serupa daun menguning
diterpa badai musim kering
tak ada lagi perih
karena luka telah kembali rapat oleh usapan waktu
leleh darah pun raib
bersama doa yang masih setia
menyulut api permohonan dan penyucian hasrat
kepada cinta
karena tak pernah kuasa kutampik
getar langit yang menerobos sampai palung sumsumku
dari gaib tatap matamu yang agung
menyalakan kesejukan
paduan seribu matahari dan bulan
langit menahbiskan penantianku
sampai kaukhatamkan jalan sabda
maka nanti aku akan menjemputmu, Bisma
di garba pertempuran
lewat perempuan yang langkahnya panjang seperti lelaki
ia yang akan melunaskan penantianku
dan membuka jalanmu pada keabadian
di lubang kancing baju zirahmu
dengan ujung panah terlumur getah rinduku
Bekasi, 2015
Budhi Setyawan
Subali
berawal dari perburuan cupu, dan perebutan cangkir madu
yang menjanjikan penelusuran nirwana, serta segala yang
hampar di mayapada. aku pun mencari ke berbagai ceruk
haru, meski pada sebuah danau akhirnya kuceburkan
kemarauku. lalu dahan pepohonan menjadi jalan,
mengantarkanku ke mulut gua. hingga saat kuadu kepala
kerbau dan lembu, kurapal golakku yang kedua pada kuasa
deru. mengalir merah, meleleh putih, berangkat kisah ke
dalam tubuhku membawa luka perih.
perempuan tara surga, pemilik cahaya pembagi terang
kepada penempuh semadi sekaligus penyilau bagi seteru
rasa yang menyebut satu jalan silsilah wanara. napas
harum mengisyaratkan adanya taman dengan buah buah
ranum. ia yang menghisap pandang, menaburkan tarian
hingga menguasai semesta kata. kibaran warna, kibasan
rahasia yang ia bawakan memutar mantra bagi nadi alam
duga. aku pun perlahan mulai lupa, tentang mala dan
nirmala. juga kesangsian, arah timur dan selatan.
ini semacam penempuhan yang tak setara, saat kujejak
jalan rumpil, kelok liku gua yang kelam, mengekalkan
malam. bertahun kutahan kecamuk kenang dalam
penantian. dan memang seperti yang kutemui, sekumpulan
alamat pada berbagai risalah sepi. betapa cuaca di luar
tak pernah saksama mengerti getar di dalam sukma. kala
demikian piawai menggembala lena, hingga akhirnya aku
pun kena. tetap kusongsong peluk riwayat yang satir, dan
telah kusiapkan semua tentangku menjelma martir.
Jakarta, 2014