Ada lima puisi saya yang termuat di rubrik Sastra koran Harian Waktu edisi hari Jumat 10 Maret 2017. Koran Harian Waktu terbit di Cianjur, Jawa Barat. Koran ini belum begitu lama terbit, dan saya berharap koran ini bisa berusia panjang. Demikian juga rubrik sastranya yang diselenggarakan seminggu sekali (saat ini pada edisi hari Jumat) dapat terus memberikan kesempatan untuk mewadahi hasil olah kreativitas para penggiat sastra dari berbagai wilayah di Indonesia, bahkan penulis Indonesia yang berada di luar negeri.
Kelima puisi yang dimuat berjudul Sembilu Rindu, Perawi Pagi, Kabut Kata, Halaman Sajak, dan Sajak Kayu Bakar.
Alamat email untuk kiriman opini, essay, artikel, karya sastra (puisi/cerpen) beserta foto dan profil singkat penulis ke Harian Waktu adalah: sastra.waktu@gmail.com
Dua puisi yang saya cantumkan di sini berjudul Sembilu Rindu dan Kabut Kata.
Budhi Setyawan
Sembilu Rindu
mengingatmu seperti menyentuhkan
ujung jemari ke miang di buluh bambu
kurasakan sulur rambut lembut
menyusup, hendak merenggut
kesadaranku dalam merintis setapak arah
ke depan, di alur getar cahaya
yang masih tersimpan dalam genggaman cakrawala
adalah kejumudanku, yang tak kuasa
menghindar dari pukat kutukan
peramalan bulan penandaan tahun
mengarus pada penghambaan bertubi
hingga membentur remang pandang
rabun yang gugup dan gamang
buat merekam sebersit terang
suara gesekan batang batang dan daun daun bambu
yang terjamah angin timur
adalah nada terengah keresahanku
yang tak terliput oleh telinga musim
makin renta dan memberat
mengekal, hingga bersemayam igau pasi
menumpuk tertabung di sepanjang umur
tubuh kemarau pun menindih wajah siang dan malam
lalu memasuki jam dinding di ruang tengah rumah
mengusapi detik, membuai detak jantung
memilin kata kata dari utas kesangsian
menguarkan keganjilan ilusi
dan terik yang membuahi kesiaan hari
adalah rindu, adalah sembilu
mengiris menyayat nadi waktuku
meneteskan darah pekat mimpi
mengucur, menderas
mengalir ke bawah kaki cuaca
yang makin menggigil dan sepi
Bekasi, 2015
Budhi Setyawan
Kabut Kata
sejak kabut kerap turun di kotamu, aku jarang keluar
rumah, bahkan untuk sekadar melihat halaman atau
pekarangan. orang orang pasti menganggapku telah
gila, tapi tak ada yang benar benar membantu
mengungsikan cemasku.
aku melihat ada butir kabut yang menyusup ke tubuh
jam, dan mulai mengaburkan perjalanan detik meniti
janji. aku tak tahu apakah waktu masih bersetia
memberikan tenggat dan jeda tunggu bagi segala
peningku. sementara aku tak cukup piawai untuk
sekadar meramalkan akibat dari kelembaman ruang
dalam mengapresiasi laju pengabaian.
barangkali waktu akan meledak, menyerpih dan menjadi
buih. aku dan kau telah sangat susut dalam kata dan
kehilangan pukau. beruntung jika masih ada orang yang
teringat kita saat menyimak potongan lagu yang terputar,
dari sebuah radio yang tak jemu membagikan getar,
meski makin samar.
Bekasi, 2015